Senin, September 17, 2012

SENYUMAN TERAKHIR

Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku melihat dia, aku tak tau siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.

Setelah beristirahat aku langsung menggayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah. Sesampai dirumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tau. Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia juga sedang berada ditaman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghapirinya.
“Hai…..”, kataku
Dengan senyum aku menyapanya.
Tapi dia tidak merespon dan tetap saja membaca sebuah novel. Sekali lagi aku mengulangi sapaanku.

“Hai.. boleh kenalan gak?”.
“Iya ada apa?”, katanya sambil menatap novel yang dibacanya.
“Aku boleh gak kenalan? Namaku Zhaky”, sambil mengulurkan jemariku.

Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tah u namanya.
“Namaku Tamara”, katanya dengan senyum.
“Kamu tinggal dimana?”, kataku.
“Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.”
“Oooo…. Kamu anak baru yah?”.
“Memang kenapa?”.
“Tidak kenapa-kenapa kok”.
“Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-begini saja”, pintaku.
“Ok.. baiklah”, katanya dengan lembut.

Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami berjalan mengeliling taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran. Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami dengan candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di lorong kedua sebeleh kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah Tamara kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.

Suara teriakan Ibunya yang memanggil membuat kami berdua kaget.
“Tamara… Tamara… ayo cepat masuk, udah hampir malam nih!, teriak ibunya.
“Ya bu.. tunggu!, Zhaky aku duluan yah?”, katanya dengan senyum.
“Iya...”, kataku sembari membalas tersenyumnya.
“Kamu juga cepetan pulang, nanti di cariin sama Ibu kamu”.
“Ok… aku pulang yah.. dadah..!, sambil berjalan dan melambaikan tangan.

Di perjalanan, aku hanya bisa berkata “baru kali ini aku bisa cepat berkenalan dengan seorang gadis, apalagi gadis seperti Tamara”. Kini aku berjalan di antara jalan yang sepi dengan sedikit penerangan dari lampu jalan yang mulai redup dan di kerumuni serangga.

Sesampai di rumah aku di marahi oleh Ibuku.
“Kamu ke mana aja”?, bentak Ibu.
“Maaf Bu, aku tadi dari keliling taman”, kataku sambil menunduk.
“Lain kali jangan pulang telat lagi yah?”.
“ Iya Bu”, sembariku meninggalkan ibu di teras rumah.
***

Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghapirinya.
“Tamara… Tamara…. tunggu aku!”, kataku sambil berlari.

Tamara berhenti dan memegang pundakku.
“Masih pagi-pagi kok dah keringatan kayak gini?, ini usap keringatmu!”, katanya sembari menyodorkan sapu tangannya.
“Iya nih, kamunya tuh. Kamu jalannya cepat amat” .
“Iya maaf”, kataya sambil tersenyum.
“Ayo buruan entar pintu gerbang di tutup”.

Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan aku. Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu. Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
“Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab”.
“Ok….”, Teriak semua temanku.

Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari bercerita tentang tugas sekolah.

“Kamu suka pelajaran apa?”, tanyaku.
“Aku paling suka pelajaran matematika”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, padahal pelajaran itu agak rumit dan memusingkan”.
“Karena aku suka aja dengan pelajaran itu, kalau kamu sukanya pelajaran apa?”.
“Aku paling suka dengan pelajaran bahasa Indonesia, yah pelajaran sastra”.
“Kenapa kamu suka pelajaran itu?, tanyaku.
“Seperti kamu tadi, aku suka aja dengan pelajaran itu. Aku sudah buat beberapa cerpen, mau baca?”, kataku sambil menyodorkan beberapa cerpen karyaku.
“Ini buatan kamu?, aku gak percaya”.
“Iyalah, ini buatan aku. Kamu baca yah dan berikan saran, ok?”.
“Ok…”, katanya sambil tersenyum.
***

“Tttttttteeettt….”, Bunyi bel menandakan kami akan melanjutkan ke pelajaran berikutnya. Tapi, guru yang mengajar tidak datang. Jadi aku dan Tamara bersama teman-teman yang lain hanya bercerita tentang hal-hal yang dapat mengocok perut.

Tak lama kemudian, kami pun pulang. Aku bersama Tamara dan temanku yang lain berjalan menuju pintu gerbang, menertawai hal yang tak patut ditertawai. Di perjalanan pulang Tamara berteriak, “Auuuuhh sakit, Zhaky bantu aku berdiri!” pintanya sambil meneteskan air matanya. kaki Tamara tersandung batu, dan kelihatannya kaki Tamara Terkilir.
“Sudah jangan nangis donk, pasti kamu akan sembuh kok”, kataku menyemangati.
“Iya Zhaky, tapi kaki aku sakit banget. Bantu aku berdiri donk!”, pintanya
“Auuuuhh…. Sakit!!”, katanya sambil merintih kesakitan.
“Sini biar aku gendong deh, gak apakan?” .
“Betul mau gendong aku, aku berat loh!”, katanya sambil tersenyum.
“sakit-sakit gini sempat aja ngelawak, sini naik cepat”.
“hehehe…. Aku beratkan?”, tanyanya, sambil tertawa.
“Gak kok..”, kataku sambil tersenyum.

Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat melihat kedatanganku yang menggendong Tamara.
“Tamara, kamu gak apa-apakan nak?”.
“Gak apa-apa kok Bu”, kata Tamara.
“Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante”, kataku.
“Terima kasih yah nak ….”
“ Zhaky, tante!”, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
“Iya terima kasih yah nak Zhaky”, katanya sambil tersenyum.
“Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?”, kataku.
“Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?”, kata ibu Tamara.
“Baik tante”, kataku sambil tersenyum.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah. Sesampai dirumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.
***

Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.
“Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?”, tanyanya sambil mencubit pipiku.
“Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?”.
“Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut”.
“Baguslah, daripada berjalan dengan pincang”, kataku sambil tersenyum.
Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
“Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?”, kata Naila.
“Kita mau ke mana ?”, tanyaku memotong pembicaraan.
“Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?”, kata Denny.
“Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!”, kata Tamara.
“Baiklah kita akan ke pantai Bira!”, kataku.

Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang pantai Bira kepada Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami berkeliling sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.

Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari sambil tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun datang.

Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
“Zhaky kamu gak apa-apa, kan?” tanyanya dengan khawatir.
“Aku gak apa-apa kok”, kataku dengan nada yang pelan.
“Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!”, katanya sambil berjalan menuju guruku.
“Pak, Zhaky sakit”, katanya.
“Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya?” tanya pak guru.
“Iya pak aku bisa kok”, katanya.

Berhubung sudah hampir pulang Tamara memasukkan barang-barangku ke dalam tas
lalu dia juga membereskan barang-barangnya.
“Ayo aku antar kamu pulang”, katanya.

Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa menjawabnya dengan kalimat, “Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir”.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-ngomeliku.
“Ini sebabnya kalau makan gak teratur”, katanya.
“Sudah tante, Zhaky ‘kan lagi sakit”, pinta Tamara ke Ibuku.
“Biarlah nak, biar dia tahu rasa”, kata Ibuku.
“Kalau begitu aku pulang dulu tante”.
“Nak nama kamu siapa?”.
“Nama aku Tamara, tante”.
“Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini”.
“Iya, sama-sama tante”, katanya.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
***

Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang yang akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah aku melihat Tamara dan langsung menghampirinya.
“Zhaky, kamu udah sembuh?”, katanya.
“Iya.. aku udah sembuh kok”.
“Betul aku udah sembuh”, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku.

Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke pantai Bira pun datang. Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan bersama teman wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki pirasat buruk dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.

Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang banyak. Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan nada yang lemah. “Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?”. Aku tak mendengar suaranya. Aku melihat teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa membuat aku pingsan.
“Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini”, kata ibuku sambil menangis.

Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan berteriak.
“Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?”.

Ibu hanya terdiam sambil menatap ayah.
“Ibu apa yang terjadi?”, aku mulai meneteskan air mata.
“Maaf nak, kini Tamara sudah berada di tempat lain”, dengan nada yang pelan ibu memberitahuku.
“Jadi maksud ibu?”.
“Iya Nak, Tamara telah meninggal akibat kecelakaan itu”, kata ibu sembari memelukku.

Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata “ kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?”. Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit, dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir darinya.

Rabu, Februari 01, 2012

Hari ini Aku Mencintaimu


Aku merasa sedih karena tak mampu menyentuhmu..
Hanya bisa memandangmu,,
Kau yang berada tepat di hadapanku..
Dan aku yang bersembunyi di belakangmu

Aku selalu berada dalam bayangan..
Dengan wajah yang muram.. aku menangis
Aku tidak dapat memintamu untuk kembali..
Aku menangis lagi


Meskipun hari esok datang, aku mencintaimu..
Aku mencintaimu melebihi hari kemarin
Kata yang ada dalam hatiku.. tidak dapat kuungkapkan

Hari inipun aku mencintaimu

Aku tidak suka berada di belakangmu..
Setiap hari aku hanya ingin di sampingmu
Akulah yang menginginkan kedatangan hari itu.. Karena itulah aku hidup


Aku melihat juga merindukanmu..
Merasakan kebersamaan juga kesendirian

Cinta yang bertepuk sebelah tangan ini..
Tidak terlihat berakhir,,
Sesedih.. bahkan sesulit apapun


Meskipun hari esok datang, aku mencintaimu..
Aku mencintaimu melebihi hari kemarin
Kata yang ada dalam hatiku.. tidak dapat kuungkapkan
Hari inipun aku mencintaimu.. hanya mencintaimu


Dia seperti orang bodoh yang tidak tahu.., perasaanku
Dia ada di depan mataku
Benar.. karena dia adalah dirimu



Meskipun hari esok datang, aku mencintaimu.. aku mencintaimu melebihi hari kemarin
Kata yang ada dalam hatiku.. tidak dapat kuungkapkan
Hari inipun aku mencintaimu.. hanya mencintaimu

Kamis, Januari 26, 2012

Terima Kasih Indra

Wamsisi, 22 March 2009, 22.15

Malam itu sangat sunyi, mungkin sudah terlampau larut atau cuma perasaanku saja. Tiba2 angin kencang diiringi hujan datang menghampiri , memporak – porandakan semua yang ia jumpai.

“boooom !!!!”
“Apa itu ???” tanyaku kepada rekan kerjaku
“aku tak tahu, mungkin ada pohon yang tumbang” jawabnya sambil berteriak karena takut suaranya tak terdengar olehku karena bunyi 2 buah mesin yang sedang beroperasi saat itu.
Dan seketika kedua mesin yang sedang beroperasi langsung berhenti dengan sendirinya.
“ich gangguan lagi bang” katanya padaku
“iya, kau tunggu disini, ku lepas cut out di desa dulu, jangan lupa aktifin radio, nanti ku panggil lewat radio” perintahku padanya sembari mengambil stochk dan bergegas menuju desa
Setiba di desa aku langsung melepas cut out dan memanggil rekanku lewat radio induk yang sengaja kami letakkan di tengah desa
“bang, cut out dah di lepas, masukin sekrang aja”
“oke” jawabnya
Listrik kembali menyala menerangi desa wamsisi saja, aku belum langsung kembali ke PLTD melainkan memantau kondisi cut out2 lainnya lewat radio.
Alhasil aku menerima berita bahwa gangguan terjadi di desa leku (desa yang merupakan ujung jaringan distribusi PLN SUB RANTING WAMSISI), aku langsung bergegas memberi kabar pada rekanku di PLTD dan memberi pesan agar tetap standby kemudian menuju speed boat yang sedang parkir di pantai seakan menungguku tuk memacunya pergi ke desa oki, tempat cut out kedua terpasang
Dengan nyali pas – pasan aku memberanikan diri tuk pergi sendiri karena tak seorangpun yang bias ku mintai pertolongan.
“hey, mau kemana ?” terdengar suara yang tak asing lagi di telingaku
“lepas cut out di oki” jawabku tanpa melihat siapa pemilik suara tadi
“ku temani ya ?!” tawarnya
“oke” sambil melihat kearahnya, ternyata dia adalah rekanku yang selama ini menghilang entah kemana

Sambil menghisap sebatang rokok, kita menuju desa oki, rekanku mengendalikan mesin tempel di belakang sedangkan aku duduk di depan bertindak sebagai navigator, kami tiba di oki tanpa hambatan, dengan bangganya aku berkata rekanku “asik juga ya lepas cut out malam2, pake speed pula, itung2 jalan2 malam di laut”
“ya begitulah” jawabnya singkat tetapi mendukungku





Pohon batu, 22 March 2009, 23.35

Tanpa sadar kami berdua telah hampir tiba ke kantor PLN SUB RANTING WAMSISI tanpa hambatan, namun disinilah perjuanganku dimulai
Tiba2 badai besar menghampiri kami, gelombang tinggipun muncul dengan tiba2 dan langsung menghancurkan speed boat yang aku naiki, menggulungiku bagai selembar sawi dalam sebuah burger siap saji, serentak membuatku tak berdaya dan tak tahu lagi apa yang terjadi padaku saat itu, aku hanya bisa pasrah menyerahkan semuanya padaNYA

“Tuhan, jika ini adalah akhir dari hidupku maka sempatkan ragaku tuk bertemu kedua orang tuaku” dalam hati aku berkata karena tak mungkin ku bersuara didalam air yang super dingin itu
Kemudian aku beranikan diri tuk membuka mata di dalam air, kulihat rekanku yang berusaha menggapai tubuhku tuk menyelamatkanku. Setelah itu aku tak sadarkan diri dan tak tahu apa terjadi setelah itu.


Hotte, 23 march 2009


“dek, dek, bangun dek” kata seorang lelaki paruh baya yang tak kukenal sambil menampar2 pelan pipiku histeris
“dek, darimana kau dek ?” Tanya lelaki lainnya lagi
“dimana ini bang ?” samar2 suaraku karena pening kepalaku, pandangankupun masih buram
“di Hotte dek” jawab lelaki yang pertama tampak lega
“dia masih hidup” jerit bahagia lelaki yang satunya
“Hotte ? bagaimana bisa ?” tanyaku heran
“Semalam kami lihat adek ngendarai speed boat sendiri gitu, padahal badai baru saja datang, sebenarnya adek mau kemana ?” Tanya lelaki lainnya lagi
“aku tak sendiri, aku bersama rekanku, kami baru aja jalanin tugas, tapi badai menghalangi kami di tengah perjalanan pulang, lalu rekanku dimana ?” tanyaku
“kau sendiri dek, bukan dia saja yang melihatmu, tetapi kami semua melihatmu dek” kata seorang gadis yang mungkin setahun diatasku
“kalau gitu aku mau pulang ke wamsisi, seseorang bisa mengantarku ? kasihan rekanku disana kerja sendiri nanti”

Akupun diantar ke wamsisi oleh kepala desa yang memang berniat pergi ke wamsisi.






Wamsisi, 23 march 2009, 12.30


“bang kemarin gimana ? nyala sampe Oki ?” Tanyaku pada rekanku yang ku tinggalkan semalam
“iya, nyala sampe oki” jawabnya senang
“tapi kemarin kenapa tak pulang, sendiri aku kerja disini, repot tahu !!!” tanyanya lagi
“semalam aku sama In ke oki, eh pas pulang kita tenggelam, speed boat kita hancur panggal2, nati baru diminta lagi deh di cabang” jawabku menerangkan
“dengan siapa ?” tanyanya kaget bercampur heran
“bang In” jawabku
“Indra” tanyanya memperjelas
“iya bang, darimana ya dia ? padahal dia selamat ya waktu kecelakan itu” tanyaku lagi
“kau tahu nda, waktu kau berangkat mayatnya ditemukan mengapung di dekat lokasi tenggelamnya kita waktu itu” jawabnya sedih
“ah jangan bercanda bang, semalam ku jalan sama dia kok” jawabku
“benar dek Indra dah meninggal” kata kepala desa yang mengantarku pulang
“tak mungkin pak, tak mungkin bang, kalian pasti bohong !!!” sambil menangis aku tak percaya
“kalau gitu mari kita ke rumahnya” kata rekanku tuk meyakinkanku

Setibanya di rumah indra aku langsung bertanya kepada keluarganya dan ternyata itu semua benar, Indra telah tiada.

masih mau Lalu Indrakah yang bersamaku malam itu ?
Atau siapa dia ?
Kalau memang dia Indra, terima kasih Tuhan, KAU telah mengirimnya tuk menyelamatkanku …